BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alam semesta ini adalah milik Allah
SWT sedangkan manusia adalah penerima kepercayaan dari Allah yang harus
dipeliharanya. Dengan berkembangnya peradaban manusia, manusia banyak melakukan
kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Mulai dari
menabung, meminjam uang, dan sampai kepada yang menggunakan jasa untuk mngirim
uang dari berbagai kota dan negara.
Dalam menjalankan kegiatan ekonominya, Islam telah memberi ketetapan
bahwa riba hukumnya adalah haram.
Riba berarti menetapkan bunga atau
melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan presentase tertentu
dari jumlah pinjaman pokok yang telah dibebankan kepada peminjam. Secara umum,
riba adalah pengambilan tambahan baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam
meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Mengenai riba, Islam bersikap keras
dalam persoalan ini karena semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia
baik dari segi akhlak, masyarakat maupun perekonomiannya. Karena, Pada
hakekatnya riba (kredit lunak berbunga besar), atau pinjaman yang salah
penerapannya akan berakibat “meningkatnya harga barang yang normal menjadi
sangat tinggi, atau berpengaruh besar terhadap neraca pembayaran antar bangsa,
kemudian berakibat melejitnya laju inflasi, akibatnya akan dirasakan pada semua
orang pada semua tingkah penghidupan.
B. Rumusan Masalah
1. Al-Quran
Surah Ar-Ruum ayat 39, terjemah, dan tafsirnya ?
2. Al-Quran
Surah Al-Imran ayat 130, terjemah, dan tafsirnya ?
3. Al-Quran Surah
Al-Baqarah ayat 275-278, terjemah, dan tafsirnya ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk
mengetahui ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan Riba;
2. Untuk
mengetahui pengertian Riba;
3. Macam-Macam
Riba;
4. Untuk
mengetahui kenapa Riba diharamkan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Q.
S. Ar- Rum ayat 39
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷zÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# xsù (#qç/öt yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y crßÌè? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ
Artinya:
Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada
harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka
(yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
Penjelasan
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷zÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# xsù (#qç/öt yYÏã «!$# (
“dan
sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta
manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah.”
Barang
siapa yang memberikan suatu pemberian kepada orang lain dengan tujuan supaya
orang itu akan membalasnya dengan hadiah yang lebih banyak kepadanya, maka apa
yang telah dilakukannya itu tidak mendapat pahala di sisi Allah. Dan Allah SWT.
telah mengharamkan hal ini kepada rasul-Nya secara khusus, yaitu sebagaimana
yang diungkapkan-Nya dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
wur `ãYôJs? çÏYõ3tGó¡n@ ÇÏÈ
Artinya: Dan
janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.
(Q.S. Al- Mudassir : 6).
Yakni janganlah kamu memberikan ‘ata‘ (suatu pemberian) dengan tujuan
supaya mendapat balasan yang lebih banyak. Telah diriwayatkan suatu asar yang bersumber dari Ibnu Abbas ra.
bahwa ia telah mengatakan, riba itu ada dua macam, yaitu riba yang tidak
dibenarkan, ia adalah riba jual beli. Dan lainnya adalah riba yang tidak
mengapa jika dilakukan, yaitu pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada
orang lain dengan maksud supaya ia mendapatkan balasan yang lebih banyak, dan
berlipat ganda dari apa yang telah diberikannya itu.[1]
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y crßÌè? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ
“Dan apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat
demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).)”
Barang siapa yang memberikan sedekah
dengan maksud untuk mendapatkan pahala dari sisi Allah, maka ia termasuk
orang-orang yang pahala dan balasannya akan dilipatgandakan di sisi-Nya,
sebagaimana yang diungkapkan oleh ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
`¨B #s Ï%©!$# ÞÚÌø)ã ©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¼çmxÿÏè»Òãsù ÿ¼ã&s! $]ù$yèôÊr& ZouÏW2 4 . . .
Artinya: Siapakah yang mau memberi
pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan
Allah), Maka Allah akan memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat
ganda yang banyak….( Q.S. Al- Baqarah : 245)
Setelah
Allah menjelaskan bahwa tidak ada tambahan melainkan apa yang telah
ditambahkan-Nya, dan tiada kebaikan selain apa yang telah dipilihkan-Nya.[2]
B.
Q.
S. Al- Imran ayat 130
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿyè»ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Penjelasan
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿyè»ÒB (
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan Riba dengan berlipat ganda.”
Janganlah kalian memakan riba yang
berlipat ganda hanya dengan menangguhkan pembayaran modal, sehingga modal
menjadi berlipat, seperti yang biasa kalian lakukan pada zaman Jahiliyah. Kini,
Islam melarang kalian berbuat demikian, karena hal itu merupakan cara keras dan
pemerasan terhadap orang yang sedang membutuhkan pertolongan.[3]
Imam Ibnu Jarir mengatakan,
“Janganlah kalian memakan riba berlipat ganda dalam Islam, sesudah Allah
memberikan petunjuk kepada kalian, seperti yang biasa kalian lakukan pada zaman
Jahiliyah. Dalam zaman Jahiliyah, seseorang melakukan riba berlipat ganda ini dengan cara memberikan utang kepada orang
lain dengan masa pembayaran yang disebutkan waktunya. Bila waktu pembayaran
telah tiba, yang berpiutang meminta kepada yang berutang, dan biasanya yang
berutang akan mengatakan, ‘Tangguhkanlah pembayaran uangmu, nanti akan aku
tambah lagi,’ keduanya menyetujui hal itu. Itulah yang dinamakan riba berlipat ganda. Kemudian Allah swt.
mencegah mereka melakukannya dalam agama Islam.”
Imam Ar- Razi mengatakan, “ Pada
masa Jahiliyah, bila seseorang berutang kepada seseorang sebanyak seratus
dirham, jika telah tiba waktu pembayarannya, ternyata orang yang berutang belum
bisa membayar utangnya, ia akan mengatakan, “Tambahilah waktu pembayarannya,
biar nanti aku tambah jumlah pembayarannya.” Dan ini, terkadang mencapai jumlah
duaratus dirham. Setelah tiba waktu yang dijanjikan, terulang lagi hal serupa,
dan hal itu terjadi beberapa kali. Sehingga. Dari seratus dirham ia dapat
mengambil berlipat ganda dari modalnya. Demikianlah yang dimaksud firman-Nya : Zpxÿyè»ÒB $Zÿ»yèôÊr& (Adh‘afan Mudha‘afah).” Secara
global, ada dua macam riba:[4]
1. Riba Nasi’ah,
yaitu jenis riba yang terkenal di
masa Jahiliyah dan biasa dilakukan oleh mereka. Riba ini menangguhkan masa
pembayaran dengan tambahan keuntungan. Jadi, manakala masa pembayaran
ditangguhkan, maka makin bertambahlah jumlah keuntungannya, sehingga dari
seratus dirham bisa menjadi seribu dirham. Dan orang yang berani berbuat
demikian biasanya orang tak mampu yang terdesak kebutuhan. Ia memberiakn
tambahan untuk mengelakkan diri dari pembayaran, dan keadaan seperti ini terus
berlangsung atas dirinya hingga utangnya menggunung dan dapat meludeskan
seluruh kekayaannya.
Merupakan
rahmat Allah, kebijaksanaan, dan kebajikan-Nya terhadap makhluk, Allah
mengharamkan riba dan melaknat
pemakannya, wakilnya, penulisnya dan saksinya. Kemudian memberikan peringatan
kepada orang yang tidak mau meninggalkannya, bahwa mereka diperangi oleh Allah
dan Rasul-Nya. Ancaman seperti ini belum pernah ada dalam dosa besar, oleh
karenanya riba dikategorikan dosa besar yang terbesar;
2. Riba Fadhal,
seperti misalnya seseorang yang menjual sebuah perhiasan emas berbentuk gelang
dengan harga yang melebihi timbangannya. Dan, sebagai barternya uang dinar
(uang emas). Atau, seseorang menjual sekilo kurma yang baik dengan sekilo dan
setumpuk kurma jelek. Sekalipun kedua pihak saling merelakan lantaran kedua pihak
saling membutuhkan barang tersebut.
Riba
jenis ini termasuk yang dilarang oleh Al-Quran. Hanya saja, pelarangannya
datang (ditetapkan) oleh sunnah Rasul. Ibnu Umar meriwayatkan sabda Nabi saw.
yang mengatakan yang artinya: “Janganlah kalian menjual emas dengan emas
kecuali masing-masing sama timbangannya. Dan janganlah kalian menjual perak
dengan perak kecuali timbangan masing-masing samaa dan jenisnya sama, dan
janganlah kalian melebihkan salah satunya karena aku khawatir kalian melakukan
Ar-Ramma (riba).
Seorang
muslim sejati mengetahui dengan sendirinya manakala ia membutuhkan riba dan terpaksa melakukannya atau
tidak. Jika ia membutuhkan, maka ia dibolehkan mengambilnya. Pada waktu itu,
masalahnya sama dengan orang terpaksa memakan bangkai dan lain sebagainya. Bila
tidak dalam keadaan darurat, maka hal itu tidak halal baginya. Karena riba pada hakikatnya merusakkan iman
kaum Mu’minin. Dan sekalipun pada lahiriahnya harta orang yang melakukan riba bertambah, namun pada hakikatnya
berkurang. Sebab, kaum kafir miskin menyaksikannya akan mengambil harta mereka
melalui cara riba ini, tetapi
mengutuk dan mendoakan jelek padanya.[5]
Dengan
demikian, Allah mencabut berkatnya darinya, yaitu dari jiwa atau harta
bendanya, baik sekarang atau nanti. Kemudian, ia dicaci orang banyak karenan
kekerasan hati dan wataknya.
(#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ
“dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan.”
Bertakwalah
kalian kepada Allah dalam hal-hal yang dilarang, di antaranya ialah riba, dan janganlah hati kalian keras
berlaku kasar terhadap hamba-hamba-Nya yang membutuhkan dan sengsara, sehingga
kalian membebankan utang yang tak kuat mereka tanggung, dan kalian memeras
hajat serta kebutuhan mereka. Mereka ditenggelamkan oleh riba, sehingga rumah mereka ludes, dan akhirnya menjadi orang tidak
mempunyai apa-apa lagi.
Mudah-mudahan,
bila kalian mau berlaku baik terhadap mereka, hal itu akan menjadi penyebab
kebahagian kalian di dunia. Sebab, kasih saying dan pertolongan yang baik itu
akan menumbuhkan kecintaan dalam hati orang yang ditolong, sedang kecintaan itu
adalah dasar dari kebahagian di dunia dan akhirat.
C.
Q.
S. Al- Baqarah ayat 275-278
úïÏ%©!$# tbqè=à2ù't (#4qt/Ìh9$# w tbqãBqà)t wÎ) $yJx. ãPqà)t Ï%©!$# çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºs öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur y$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkÏù crà$Î#»yz ÇËÐÎÈ ß,ysôJt ª!$# (#4qt/Ìh9$# Î/öãur ÏM»s%y¢Á9$# 3 ª!$#ur w =Åsã ¨@ä. A$¤ÿx. ?LìÏOr& ÇËÐÏÈ ¨bÎ) úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# (#âqs?#uäur no4q2¨9$# óOßgs9 öNèdãô_r& yZÏã öNÎgÎn/u wur ì$öqyz öNÎgøn=tæ wur öNèd cqçRtóst ÇËÐÐÈ $ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ
Artinya:
275.
orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
276.
Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap
orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
277.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan
shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
278.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Penjelasan
úïÏ%©!$# tbqè=à2ù't (#4qt/Ìh9$# w tbqãBqà)t wÎ) $yJx. ãPqà)t Ï%©!$# çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila.”
Keadaan
orang-orang yang memakan riba di dunia ini, seperti orang yang sengaja
melakukan perbuatan karena mereka gila disebabkan mereka dimabukkan oleh
kecintaan harta. Dan, setelah harta mampu memperbudak pikirannya, maka jiwanya
menjadi ganas, ingin sekali mengumpulkan harta sebanyak mungkin, dan harta menjadi
tujuan pokok kehidupannya. Mereka menganggap tidak perlu susah-susah dengan
menjalankan riba, dan meninggalkan usaha lainnya.[6]
Pembaca
tentu akan melihat gerak dan perbuatan mereka, yakni orang yang suka
memperjualbelikan bursa dan keracunan judi. Gerakan dan upaya mereka tampak
semakin serius. Dari celah-celah sikap dan perbuatan mereka yang lincah itu
dapat disaksikan gerakan yang tidak teratur. Dan orang Arab mengistilahkan
orang yang suka berbuat tidak teratur (ngawur) itu sebagai gila.
Imam
Thabrani meriwayatkan sebuah hadis dari ‘Auf bin Malik secara marfu’ yang
artinya: “hati-hatilah kamu terhadap dosa-dosa yang tidak bisa diampuni:
khianat terhadap bagian orang lain, barang siapa yang berkhianat mengambil
sesuatu, maka kelak di hari kiamat akan didatangkan; dan riba, barang siapa
yang memakan riba, esok hari kiamat ia akan dibangunkan dalam keadaan gila,
membabi buta.”
y7Ï9ºs öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3
“Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba,”
Jika
mereka memakan riba, maka riba akan dianggap sebagai yang dihalalkan, sama
seperti jual beli. Dalam keyakinan si pemakan, hal tersebut sama bolehnya
dengan seseorang menjual barang dagangan yang harganya sepuluh dirham, misalnya
dengan bayaran kontan, atau duapuluh dirham dengan kredit. Karena anggapan
membolehkan tadi, maka dalam keyakinan mereka diperboleh pula memberikan
sepuluh dirham terhadap orang yang membutuhkannya, dengan syarat ia akan
mengembalikannya mejadi dua puluh dirham setahun. Sebab dibolehkannya ini
menurut keyakinannya adalah sama, yakni perbedaan masa waktu. [7]Demikian
alasan mereka, menurut apa yang mereka khayalkan. Padahal, analogi mereka ini
sama sekali tidak benar. karenanya, Allah berfirman:
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4
“Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Dalam hal jual beli, ada hal-hal yang
menyebabkan dihalakannya jual beli, dan dalam masalah riba, ada factor-faktor
yang menyebabkan haramnya riba. Penyebabnya dihalalkannya jual beli, karena
selama pihak pembeli bisa memanfaatkan apa yang dibeli dalam artian dalam
hikiki. Siapa saja yang membeli gandum, misalnya, maka sekali-kali ia tidak
membeli kecuali untuk dimakan, disemaikan bijinya, atau untuk dijual lagi
(sebagai perdagangan). Di samping itu, harga yang ditetapkan berimbang dengan
barang yang dijual secara rela antara penjual dan pembeli, dan dengan pilihan
antara keduanya.
`yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,
lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan).”
Siapa
yang telah mendengar berita pengharaman riba, maka wajib ia meninggalkannya
dengan segera, tidak diulur-ulur, di samping tidak bersikap ragu dalam
menentukan sikap di dalam rangka mengikuti perintah Allah. Di samping itu,
bunga yang selama ini (sebelum datangnya larangan) diambil, maka terserah
padanya, tetapi diisyaratkan tidak boleh mengulangi perbuatannya lagi untuk
mendatang, setelah adanya larangan ini.[8]
ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# (
“Dan
urusannya (terserah) kepada Allah.” Allah akan menghukumi masalah tersebut
dengan keadilan-Nya. Juga merupakan suatu keadilan apabila Allah tidak
menghukum para pemakan riba sebelum adanya larangan tersebut, atau belum
sampainya nasihat Allah padanya. Dalam ayat ini terkandung isyarat yang
menunjukkan bahwa dibolehkannya hal-hal yang terlalu dari hasil riba, adalah
lantara darurat, dan mengambil bunga yang sudah dimakan sebelum adanya larangan
ini, adalah sebagai tekad yang mulia.
ïÆtBur y$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkÏù crà$Î#»yz ÇËÐÎÈ
“Orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” Siapa saja yang kembali
seperti sedia kala, yakni memakan riba setelah adanya pengharaman, maka orang
yang melakukan itu termasuk orang yang tidak mau mendengar nasihat Allah. Padahal,
Allah tidak sekali-kali melarang mereka kecuali lantaran hal itu sangat
membahayakan diri mereka. Dan mereka (yang berlaku memakan riba) adalah
penghuni neraka yang tetap di dalamnya. Dan kalimat seperti ini dimaksudkan
untuk memberatkan sangsi terhadap para pelanggar, sama seperti yang tersebut di
dalam ayat-ayat lainnya.[9]
Sebagian
ulama berpendapat bahwa terlalu mencintai harta kekayaan atau bergelimang
dengan kelezatannya merupakan sebagian dari dosa besar. Hati yang sudah penuh
dengan kecintaan terhadap kenikmatan duniawi tidak bisa dipadukan dengan
keimanan yang benar, yang tabiatnya adalah memenuhi perasaan hati kita dengan
rasa takut dan khawatir terhadap siksaan Allah, atau tidak berani melakukan
hal-hal yang dilarang oleh Allah. Orang yang melakukan kejelekan dengan cara
seperti ini, termasuk orang kafir yang menghalalkan segala cara, meski ia
mengingkari hal itu dengan lisannya. Karenanya, orang seperti ini akan menjadi
penghuni neraka yang kekal.
ß,ysôJt ª!$# (#4qt/Ìh9$# Î/öãur ÏM»s%y¢Á9$# 3
“Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah.” Allah akan
melebur barakah riba, dan merusak harta yang digunakan untuk kepentingan
tersebut. Setelah itu, tidak ada seorang pun yang memanfaatkannya. Di balik
itu, Allah melipat gandakan barakah sedekah dan menambah harta yang dikeluarkan
untuknya.
Kalangan
ulama mengatakan, “ yang dimaksud dengan lebur di sini ialah perlakuan yang
dijumpai oleh pelaku riba dari orang-orang yang membutuhkannya, yaitu
permusuhan dari pihak mereka dan sangat dibenci mereka. Kadang, permusuhan dan
kebencian ini bisa mengakibatkan sebagai kerusakan dan kemadharatan, seperti
menjadi tindak kekerasan terhadap harta, jiwa, dan hasil bumi yang menjadi
milik pelaku riba.”
Kesimpulannya,
bahwa riba itu meleburkan harapan pelakunya yang mendambakan bertambahnya herta
benda. Dengan demikian, ia berharap bisa menikmati kehidupan ini secara
terhomat dan sejahtera. Tetapi, riba justru membalikkan lamunannya, dan
kenyataan hidup menjadi tampak murung dan susah. Perasaan cinta harta semakin
menjadi, orang-orang yang membenci semakin banyak, dan ia pun tidak bisa
berhasil mencapai hasil dari kelakuannya dalam kehidupan ini. Sunnatullah telah
menetapkan bahwa orang bersedekah itu manfaat hartanya akan lebih besar
dibanding harta yang tertinggal.[10]
ª!$#ur w =Åsã ¨@ä. A$¤ÿx. ?LìÏOr& ÇËÐÏÈ
“Dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam
kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”
Yang
dimaksud dengan Al-Kuffar disini ialah orang yang berkepanjangan dalam
mengingkari nikmat-nikmat Allah, berupa harta yang dilimpahkan padanya, karena
ia tidak menginfakkan di jalan Allah. Ia juga tidak menyantuni harta benda
kepada hamba-hamba Allah yang membutuhkannya.
Al-Atsim
ialah orang yang bergelimang dalam perbuatan-perbuatan dosa. Orang ini
terkadang menggunakan harta bendanya sebagai cara untuk meraih harta yang ada
di tangan orang lain, yang karena itu, ia memeras kaum miskin dan mengambil sumber
penghidupan dan menghisap darah mereka.
¨bÎ) úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# (#âqs?#uäur no4q2¨9$# óOßgs9 öNèdãô_r& yZÏã öNÎgÎn/u wur ì$öqyz öNÎgøn=tæ wur öNèd cqçRtóst ÇËÐÐÈ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh,
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi
Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.”
Bahwa
orang-orang yang percaya dengan apa yang didatangkan oleh Allah, berupa
perintah dan larangan, mau melakukan perbuatan yang memperbaiki diri mereka,
seperti memberikan santunan kepada fakir miskin, serta belas kasihan terhadap
orang-orang yang sengsara dan menunda penagihan terhadap orang yang lagi sulit,
hal ini merupakan perwujudan dari iman yang hakiki dengan diiringi
pengalamannya, mereka mendirikan shalat, yang hal ini bisa mengingatkan
seseorang kepada Tuhannya, sehingga imannya makin bertambah, dan menanamkan
perasaan cinta kepada Tuhan serta menyakini bahwa Allah swt. selalu meneliti
sepak terjangnya, dengan demikian maka akan mudah baginya melakukan taat kepada
Allah dalam segala hal. Mereka pun menunaikan zakat, yang dengan ini bisa
membersihkan diri mereka dari berbagai kotoran bakhil dan membiasakan jiwanya
melakukan hal-hal yang baik. Dalam hal ini, Allah mengkhususkan penyebutan dua
jenis amal kebaikan, sedang amal kebaikan itu adalah banyak dan luas
pengertiannya. Hal ini karena kedua kebajikan itu merupakan rukun-rukun ibadah
yang paling agung yang berkaitan dengan jasmani dan rohani. Orang menjalankan
di atas, mereka mendapatkan pahala yang telah disimpan Allah untuk diberikan
kepada mereka, kelak di hari kiamat. Pada hari itu, mereka sedikit pun tidak
merasa sedih atau menyesal terhadap apa yang dilakukannya, dan tidak merasa
takut sedikit pun dalam hal-hal yang baka terjadi.[11]
Dalam
ayat ini terkandung sindiran terhadap orang-orang yang memakan riba. Artinya
jika mereka itu benar-benar termasuk orang-orang yang beriman dan beramal
saleh, maka tentu mereka akan berhenti dari memakan riba.
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman.”
Hai orang-orang yang beriman, yang
percaya terhadap perintah dan larangan Allah, peliharalah dirimu dari siksa
Allah, dengan mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Di
samping itu, tinggalkanlah apa yang tersisa dari perbuatan riba, apabila kalian
benar-benar mengaku beriman kepada apa (ajara) agama, yakni berupa perintah dan
larangan.
Dalam bahasa Arab sering dikatakan,
“Bila kalian benar-benar konsekuen terhadap perkataanmu, maka lakukanlah hal
tersebut.” Kemudian, mereka menuturkan hal-hal tersebut, yang hal-hal itu
merupakan perwujudan dari apa yang dikatakannya.[12]
Dalam
ayat ini terkandung isyarat yang menjelaskan bahwa siapa saja yang tidak
meninggalkan riba setelah adanya larangan. Allah dan ancaman-Nya, maka orang
tersebut dikatakan tidak beriman, dan ia akan tetap di neraka. Meskipun ia
beriman terhadap apa yang dibawa oleh agama, tetapi ia mengingkari sebagian
ajarannya, bahkan tidak mengamalkannya, maka orang seperti ini dinyatakan
sebagai tidak beriman, kendati melalui mulutnya menyatakan diri sebagai orang
beriman. Sebab, keimanan dalam bentuk seperti ini, tidak dianggap sebagai iman,
sebagaimana telah disabdakan oleh rasulullah saw. yang artinya: “Seseorang
Mu’min yang sedang melakukan zina, maka tidaklah beriman, dan ketika minum
khamr, ia tidak beriman pula.”
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Riba adalah
pengambilan tambahan baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam
secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam. Barang
siapa yang memberikan suatu pemberian kepada orang lain dengan tujuan supaya
orang itu akan membalasnya dengan hadiah yang lebih banyak kepadanya, maka apa
yang telah dilakukannya itu tidak mendapat pahala di sisi Allah.
Janganlah kalian memakan riba yang
berlipat ganda hanya dengan menangguhkan pembayaran modal, sehingga modal
menjadi berlipat, seperti yang biasa kalian lakukan pada zaman Jahiliyah. Kini,
Islam melarang kalian berbuat demikian, karena hal itu merupakan cara keras dan
pemerasan terhadap orang yang sedang membutuhkan pertolongan.
Secara
global, ada dua macam riba:
1. Riba Nasi’ah,
yaitu jenis riba yang terkenal di
masa Jahiliyah dan biasa dilakukan oleh mereka. Riba ini menangguhkan masa
pembayaran dengan tambahan keuntungan;
2. Riba Fadhal,
seperti misalnya seseorang yang menjual sebuah perhiasan emas berbentuk gelang
dengan harga yang melebihi timbangannya. Dan, sebagai barternya uang dinar
(uang emas).
Riba
pada hakikatnya merusakkan iman kaum Mu’minin. Dan sekalipun pada lahiriahnya
harta orang yang melakukan riba bertambah,
namun pada hakikatnya berkurang. Sebab, kaum kafir miskin menyaksikannya akan
mengambil harta mereka melalui cara riba
ini, tetapi mengutuk dan mendoakan jelek padanya.
Keadaan
orang-orang yang memakan riba di dunia ini, seperti orang yang sengaja
melakukan perbuatan karena mereka gila disebabkan mereka dimabukkan oleh
kecintaan harta. Dan, setelah harta mampu memperbudak pikirannya, maka jiwanya
menjadi ganas, ingin sekali mengumpulkan harta sebanyak mungkin, dan harta
menjadi tujuan pokok kehidupannya. Mereka menganggap tidak perlu susah-susah
dengan menjalankan riba, dan meninggalkan usaha lainnya.
Bahwa
riba itu meleburkan harapan pelakunya yang mendambakan bertambahnya herta
benda. Dengan demikian, ia berharap bisa menikmati kehidupan ini secara
terhomat dan sejahtera. Tetapi, riba justru membalikkan lamunannya, dan
kenyataan hidup menjadi tampak murung dan susah. Perasaan cinta harta semakin
menjadi, orang-orang yang membenci semakin banyak, dan ia pun tidak bisa
berhasil mencapai hasil dari kelakuannya dalam kehidupan ini. Sunnatullah telah
menetapkan bahwa orang bersedekah itu manfaat hartanya akan lebih besar
dibanding harta yang tertinggal.
B.
Saran
Sebagai
umat muslim sebaiknya kita tidak melakukan riba karena Riba pada hakikatnya merusakkan iman kaum Mu’minin. Dan sekalipun
pada lahiriahnya harta orang yang melakukan riba
bertambah, namun pada hakikatnya berkurang. Sebab, kaum kafir miskin
menyaksikannya akan mengambil harta mereka melalui cara riba ini, tetapi mengutuk dan mendoakan jelek padanya. Demikianlah
dari makalah ini yang pemakalah sampaikan, makalah ini masih jauh dikatakan dari sempurna baik dalam segi penulisan maupun analisanya. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran
dan kritik yang membangun
untuk dijadikan sebagai perbaikan dari isi makalah ini. Kiranya dapat bermanfaat bagi kita
semua yang membacanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Musthafa al- Maraghi, Ahmad. 1992. terjemah Tafsir Al-Maraghi 3. Semarang : CV Toha Putra Semarang.
Musthafa al- Maraghi, Ahmad. 1992. terjemah Tafsir Al-Maraghi 4. Semarang : CV Toha Putra Semarang.
Musthafa al- Maraghi, Ahmad. 1992. terjemah Tafsir Al-Maraghi 21. Semarang : CV Toha Putra Semarang.
[1]
Ahmad Musthafa al- Maraghi, 1992, terjemah
Tafsir Al-Maraghi 21, Semarang : CV
Toha Putra Semarang, hal. 97
[2]
Ibid. hal. 98
[3]
Ahmad Musthafa al- Maraghi, 1992, terjemah
Tafsir Al-Maraghi 4, Semarang : CV
Toha Putra Semarang, hal. 108
[4] Ibid. hal. 109
[5]
Ibid. hal. 111-112
[6]
Ahmad Musthafa al- Maraghi, 1992, terjemah
Tafsir Al-Maraghi 3, Semarang : CV
Toha Putra Semarang, hal. 108
[7]
Ibid. hal. 110
[8]
Ibid. hal. 110
[9]
Ibid. hal. 11
[10]
Ibid. hal. 113
[11]
Ibid. hal. 114
[12]
Ibid. hal. 115.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar