Selasa, 17 Maret 2015

makalah Hukum Agraria tentang pengertian dan ruang lingkup agraria

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan Negara hukum, dimana tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan pengejawantahan cita hukum yang dianut dalam masyarakat diberbagai perangkat aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses (perilaku birokrasi pemerintahan dan masyarakat). Paham Negara Hukum Indonesia mendudukan kepentingan orang perorang secara seimbang dengan kepentingan umum. Negara mengakui hak dan kewajiban asasi warga negara serta membuat pengaturan-pengaturan yang memungkinkan terjaminnya kehidupan masyarakat yang aman, tentram dan damai.
Usaha untuk mencapai masyarakat adil dan makmur memang memerukan ikut sertanya semua manusia dalam semua bidang kehidupan seperti ekonomi, politik, hukum dan sosial budaya. Salah satu cara agar bisa terwujud kesejahteraan bagi seluruh rakyat indonesia ialah dengan cara mempergunakan hukum sebagai alatnya. Dengan kata lain hukum hukum dipakai sebagai sarana untuk menciptakan keadilan dan kemakmuran khususnya dibidang agraria.
Dengan mulai berlakunya UUPA terjadi perubahan fundamental pada Hukum Agraria di Indonesia, terutama hukum dibidang pertanahan, yang sering kita sebut sebagai Hukum Pertanahan yang dikalangan pemerintah dan umum juga dikenal sebagai Hukum Agraria.
UUPA bukan hanya memuat ketentuan-ketentuan mengenai perombakan Hukum Agraria. Sesuai dengan namanya Peraturan dasar pokok-pokok Agraria, UUPA memuat juga lain-lain pokok persoalan agrarian serta penyelesaiannya. Berdasarkan hal ini penulis akan membahas tentang “pengertian dari Agraria, Ruang Lingkup Agrarian, dan pengertian dari Hukum Agraria”


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari Agraria ?
2.      Apa saja Ruang Lingkup dari Agraria ?
3.      Apa pengertian dari Hukum Agraria ?
C.     Tujuan Masalah
1.      Untuk memenuhi tugas Hukum Agraria.
2.      Untuk mengetahui pengertian dari Agraria dan Hukum Agraria.
3.      Untuk mengetahui Ruang Lingkup dari Agraria


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Agraria
Istilah Agraria berasal dari kata Akker (Bahasa Belanda), Agros (Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, Agger (Bahasa Latin) berarti perladangan, persawahan, pertanian, Agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian.
Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa arti agrarian is relating to land, or to a division or distrbusion of land; as an agrarian laws.[1] Menururt Andi Hamzah, agrarian adalah masalah tanah dan semua yang ada di dalam dan di atasnya.[2] Menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibio, agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalam dan di atasnya.[3] Apa yang ada di adalam tanah misalnya batu, kerikil, tambang, sedangkan yang ada di atas tanah dapat berupa tanaman, bangunan.
Pengertian agraria menurut Andi Hamzah, dan Subekti, dan R. Tjitrosoedinio mirip dengan pengeertian real estate yang dikemukakan oleh Arthur P. Crabtree,[4] yang menyatakan bahwa hak milik(property) dibagi dua macam, yaitu:
1.      Real Property juga disebut real estate adalah tanah dan segala sesuatu yang secara permanen melekat pada tanah (Real estate is land and everthing that is permanently attached to it (land)).
2.      Personal Property adalah apabila sesuatu (benda) itu terlepas dari tanah.
Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, LNRI Tahun 1960 No. 104- TLNRI No. 2043, disahkan tanggal 24 September 1960, yang dikenal dengan sebutan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tidak memberikan pengertian agraria, hanya memberikan ruang lingkup agraria sebagaimana yang tercantum dalam konsideran, pasal-pasal maupun penjelasannya. Ruang lingkup agraria menurut UUPA meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (BARAKA).
Ruang lingkup agraria menurut UUPA sama dengan ruang lingkup sumber daya agraria/sumber daya alam menurut Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ruang lingkup agrarian/sumber daya agrarian/sumber daya alam dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Bumi
Pengertian bumi menurut Pasal 1 ayat (4) UUPA adalah  permukaan bumi, termasuk pula tubuh di bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi menurut Pasal 4 ayat (1) UUPA adalah tanah.
2.      Air
Pengeertian menururt Pasal 1 ayat (5) UUPA adalah air yang berada di perairan pedalaman maupun air yang berada di laut wilayah Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 11 Tahun 194 tentang Pengairan, disebutkan bahwa pengertian air meliputi yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah, tetapi tidak meliputi air yang terdapat di laut.
3.      Ruang Angkasa
Pengertian ruang angkasa menururt Pasal 1 ayat (6) UUPA adalah ruang di atas bumi wilayah Indonesia dan ruang di atas air wilayah Indonesia. Pengertia ruang angkasa menurut Pasal 48 UUPA, ruang di atas bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekyaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan itu.


4.      Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi disebut bahan, yaitu unsur-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapan alam (UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan).
Kekayaan alam yang terkandung di air adalah ikan dan lain-lain kekayaan alam yang berada di dalam perairan pedalaman dan laut wilayah Indonesia (UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan).
Dari segi unsur-unsurnya, pengertian agraria mirip dengan pengertian ruang dalam Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang LNRI Tahun 1992 No. 105 – TLNRI No. 3501. Menurut Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa ruang udara wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Ruang daratan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan termasuk permukaan perairan darat dan sisi darat dari garis laut terendah. Ruang lautan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari sisi laut garis laut terendah  termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya, di mana Republik Indonesia mempunyai hak yuridiksi. Ruang udara adalah ruang yang terletak di atas ruang daratan dan atau ruang lautan sekitar wilayah Negara dan melekat pada bumi, di mana Republik Indonesia mempunyai hak yuridiksi. Pengertian ruang udara tidak sama dengan pengertian ruang angkasa.
Pengertian agraria dalam arti sempit hanyalah meliputi permukaan bumi yang disebut tanah, sedangkan pengertian agraria dalam arti luas adalah meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.


B.     Pengertian Hukum Agraria
Menurut Soedikno mertokusumo, hukum Agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum ,baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur agraria.[5] Bachsan Mustofa menjabarkan kaidah hukum yang tertulis adalah hukum agrarian dalam bentuk hukum undang-undang dan peraturan-peraturan tertulis lainnya yang dibuat oleh Negara, sedangkan kaidah hukum yang tidak tertulis adalah Hukum Agraria dalam bentuk Hukum Adat Agraria yang dibuat oleh masyarakat adat setempat dan pertumbuhan, perkembangan serta berlakunya dipertahankan oleh masyarakat adat yang bersangkutan.[6]
Menurut Soebekti dan R. Tjitrosoedibio, Hukum Agraria (Agrarisch Recht), adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan hukum, baik Hukum Perdata, maupun Hukum Tata Negara(Staatsrecht) maupun pula Hukum Tata Usaha Negara(Administratifrecht) yang mengatur hubungan-hubungan antara orang termasuk badan hukum dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam selururh wilayah Negara dan mengatur pula wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan-hubungan tersebut.[7]
Boedi Harson menyatakan Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum. Hukum Agraria merupakan satu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian agraria. Kelompok berbagai bidang hukum tersebut terdiri atas:
1.      Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti permukaan bumi.
2.      Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air.
3.      Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh Undang-undang Pokok Pertambangan.
4.      Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak oenguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air.
5.      Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam Ruang Angkasa, mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.[8]
Menurut E. Utrecht yang dikutip oleh Boedi Harsono, Hukum Agraria dalam arti sempit sama dengan Hukum Tanah. Hukum Agraria dan Hukum Tanah menjadi bagian dari Hukum Tata Usaha Negara, yang menguji hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus soal-soal tentang agraria, melakukan tugas mereka itu.[9]


BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Istilah Agraria berasal dari kata Akker (Bahasa Belanda), Agros (Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, Agger (Bahasa Latin) berarti perladangan, persawahan, pertanian, Agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian. Menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibio, agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalam dan di atasnya.
Ruang lingkup agraria menurut UUPA sama dengan ruang lingkup sumber daya agraria/sumber daya alam menurut Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam: bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Menurut Soedikno mertokusumo, hukum Agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum ,baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur agraria.
Hukum Agraria merupakan satu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian agraria. Kelompok berbagai bidang hukum tersebut terdiri atas: Hukum Tanah, Hukum Air, Hukum Pertambangan, Hukum Perikanan, Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam Ruang Angkasa.
B.     Saran
Dalam penyusunan Makalah ini penulis tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan dan kehilafan oleh sebab itu penulis berharap untuk diberi kritikan dan saran yang membangun guna kesempurnaan makalah ini dan pembuatan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Santoso, Urip. 2005. Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta: Kencana.




[1] Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, West Publishing Co, USA. 1991, h. 43.
[2] Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, h. 32.
[3] Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, h. 12.
[4] Arthur P. Crabtree, You and the Law, Chapter VI
[5] Soedikno Mertokusumo, Hukum dan Politik Agraria, Unversitas Terbuka, Karunika, Jakarta. 1998, h.1.2
[6] Bachsan Mustofa, Hukum Agrarian dalam Perspektif, Remdja Karya, Bandung, 1988, h. 11.
[7] Soebekti dan R. Tjitrosoedibio, op.cit, h. 55.
[8]Boedi Harsono (I), Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Udang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003, h. 8.
[9] Ibid, h. 15.

Minggu, 23 November 2014

video sebelum menunggu bagi lapor kelas XII semester I SMA Negeri 2 Liwa Lampung Barat

Makalah Tafsir Tentang Riba



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Alam semesta ini adalah milik Allah SWT sedangkan manusia adalah penerima kepercayaan dari Allah yang harus dipeliharanya. Dengan berkembangnya peradaban manusia, manusia banyak melakukan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Mulai dari menabung, meminjam uang, dan sampai kepada yang menggunakan jasa untuk mngirim uang dari berbagai kota dan negara.  Dalam menjalankan kegiatan ekonominya, Islam telah memberi ketetapan bahwa riba hukumnya adalah haram.
Riba berarti menetapkan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan presentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang telah dibebankan kepada peminjam. Secara umum, riba adalah pengambilan tambahan baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Mengenai riba, Islam bersikap keras dalam persoalan ini karena semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia baik dari segi akhlak, masyarakat maupun perekonomiannya. Karena, Pada hakekatnya riba (kredit lunak berbunga besar), atau pinjaman yang salah penerapannya akan berakibat “meningkatnya harga barang yang normal menjadi sangat tinggi, atau berpengaruh besar terhadap neraca pembayaran antar bangsa, kemudian berakibat melejitnya laju inflasi, akibatnya akan dirasakan pada semua orang pada semua tingkah penghidupan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Al-Quran Surah Ar-Ruum ayat 39, terjemah, dan tafsirnya ?
2.      Al-Quran Surah Al-Imran ayat 130, terjemah, dan tafsirnya ?
3.      Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 275-278, terjemah, dan tafsirnya ?
C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan Riba;
2.      Untuk mengetahui pengertian Riba;
3.      Macam-Macam Riba;
4.      Untuk mengetahui kenapa Riba diharamkan.
BAB II
PEMBAHASAN

A.   Q. S. Ar- Rum ayat 39
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷ŽzÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# Ÿxsù (#qç/ötƒ yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y šcr߃̍è? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ  
Artinya:  Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
Penjelasan
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷ŽzÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# Ÿxsù (#qç/ötƒ yYÏã «!$# (
“dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah.”
Barang siapa yang memberikan suatu pemberian kepada orang lain dengan tujuan supaya orang itu akan membalasnya dengan hadiah yang lebih banyak kepadanya, maka apa yang telah dilakukannya itu tidak mendapat pahala di sisi Allah. Dan Allah SWT. telah mengharamkan hal ini kepada rasul-Nya secara khusus, yaitu sebagaimana yang diungkapkan-Nya dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:

Ÿwur `ãYôJs? çŽÏYõ3tGó¡n@ ÇÏÈ  
Artinya:   Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. (Q.S. Al- Mudassir : 6).
            Yakni janganlah kamu memberikan ‘ata‘ (suatu pemberian) dengan tujuan supaya mendapat balasan yang lebih banyak. Telah diriwayatkan suatu asar yang bersumber dari Ibnu Abbas ra. bahwa ia telah mengatakan, riba itu ada dua macam, yaitu riba yang tidak dibenarkan, ia adalah riba jual beli. Dan lainnya adalah riba yang tidak mengapa jika dilakukan, yaitu pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain dengan maksud supaya ia mendapatkan balasan yang lebih banyak, dan berlipat ganda dari apa yang telah diberikannya itu.[1]
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y šcr߃̍è? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ  
“Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).)”
            Barang siapa yang memberikan sedekah dengan maksud untuk mendapatkan pahala dari sisi Allah, maka ia termasuk orang-orang yang pahala dan balasannya akan dilipatgandakan di sisi-Nya, sebagaimana yang diungkapkan oleh ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
`¨B #sŒ Ï%©!$# ÞÚ̍ø)ム©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¼çmxÿÏ軟ÒãŠsù ÿ¼ã&s! $]ù$yèôÊr& ZouŽÏWŸ2 4 . . .
Artinya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak….( Q.S. Al- Baqarah : 245)
Setelah Allah menjelaskan bahwa tidak ada tambahan melainkan apa yang telah ditambahkan-Nya, dan tiada kebaikan selain apa yang telah dipilihkan-Nya.[2]
B.     Q. S. Al- Imran ayat 130
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿy軟ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ  
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Penjelasan
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿy軟ÒB (
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda.”
            Janganlah kalian memakan riba yang berlipat ganda hanya dengan menangguhkan pembayaran modal, sehingga modal menjadi berlipat, seperti yang biasa kalian lakukan pada zaman Jahiliyah. Kini, Islam melarang kalian berbuat demikian, karena hal itu merupakan cara keras dan pemerasan terhadap orang yang sedang membutuhkan pertolongan.[3]
            Imam Ibnu Jarir mengatakan, “Janganlah kalian memakan riba berlipat ganda dalam Islam, sesudah Allah memberikan petunjuk kepada kalian, seperti yang biasa kalian lakukan pada zaman Jahiliyah. Dalam zaman Jahiliyah, seseorang melakukan riba berlipat ganda ini dengan cara memberikan utang kepada orang lain dengan masa pembayaran yang disebutkan waktunya. Bila waktu pembayaran telah tiba, yang berpiutang meminta kepada yang berutang, dan biasanya yang berutang akan mengatakan, ‘Tangguhkanlah pembayaran uangmu, nanti akan aku tambah lagi,’ keduanya menyetujui hal itu. Itulah yang dinamakan riba berlipat ganda. Kemudian Allah swt. mencegah mereka melakukannya dalam agama Islam.”
            Imam Ar- Razi mengatakan, “ Pada masa Jahiliyah, bila seseorang berutang kepada seseorang sebanyak seratus dirham, jika telah tiba waktu pembayarannya, ternyata orang yang berutang belum bisa membayar utangnya, ia akan mengatakan, “Tambahilah waktu pembayarannya, biar nanti aku tambah jumlah pembayarannya.” Dan ini, terkadang mencapai jumlah duaratus dirham. Setelah tiba waktu yang dijanjikan, terulang lagi hal serupa, dan hal itu terjadi beberapa kali. Sehingga. Dari seratus dirham ia dapat mengambil berlipat ganda dari modalnya. Demikianlah yang dimaksud firman-Nya : Zpxÿy軟ÒB $Zÿ»yèôÊr& (Adh‘afan Mudha‘afah).” Secara global, ada dua macam riba:[4]
1.      Riba Nasi’ah, yaitu jenis riba yang terkenal di masa Jahiliyah dan biasa dilakukan oleh mereka. Riba ini menangguhkan masa pembayaran dengan tambahan keuntungan. Jadi, manakala masa pembayaran ditangguhkan, maka makin bertambahlah jumlah keuntungannya, sehingga dari seratus dirham bisa menjadi seribu dirham. Dan orang yang berani berbuat demikian biasanya orang tak mampu yang terdesak kebutuhan. Ia memberiakn tambahan untuk mengelakkan diri dari pembayaran, dan keadaan seperti ini terus berlangsung atas dirinya hingga utangnya menggunung dan dapat meludeskan seluruh kekayaannya.
Merupakan rahmat Allah, kebijaksanaan, dan kebajikan-Nya terhadap makhluk, Allah mengharamkan riba dan melaknat pemakannya, wakilnya, penulisnya dan saksinya. Kemudian memberikan peringatan kepada orang yang tidak mau meninggalkannya, bahwa mereka diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya. Ancaman seperti ini belum pernah ada dalam dosa besar, oleh karenanya riba dikategorikan dosa besar yang terbesar;
2.      Riba Fadhal, seperti misalnya seseorang yang menjual sebuah perhiasan emas berbentuk gelang dengan harga yang melebihi timbangannya. Dan, sebagai barternya uang dinar (uang emas). Atau, seseorang menjual sekilo kurma yang baik dengan sekilo dan setumpuk kurma jelek. Sekalipun kedua pihak saling merelakan lantaran kedua pihak saling membutuhkan barang tersebut.
Riba jenis ini termasuk yang dilarang oleh Al-Quran. Hanya saja, pelarangannya datang (ditetapkan) oleh sunnah Rasul. Ibnu Umar meriwayatkan sabda Nabi saw. yang mengatakan yang artinya: “Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali masing-masing sama timbangannya. Dan janganlah kalian menjual perak dengan perak kecuali timbangan masing-masing samaa dan jenisnya sama, dan janganlah kalian melebihkan salah satunya karena aku khawatir kalian melakukan Ar-Ramma (riba).
Seorang muslim sejati mengetahui dengan sendirinya manakala ia membutuhkan riba dan terpaksa melakukannya atau tidak. Jika ia membutuhkan, maka ia dibolehkan mengambilnya. Pada waktu itu, masalahnya sama dengan orang terpaksa memakan bangkai dan lain sebagainya. Bila tidak dalam keadaan darurat, maka hal itu tidak halal baginya. Karena riba pada hakikatnya merusakkan iman kaum Mu’minin. Dan sekalipun pada lahiriahnya harta orang yang melakukan riba bertambah, namun pada hakikatnya berkurang. Sebab, kaum kafir miskin menyaksikannya akan mengambil harta mereka melalui cara riba ini, tetapi mengutuk dan mendoakan jelek padanya.[5]
Dengan demikian, Allah mencabut berkatnya darinya, yaitu dari jiwa atau harta bendanya, baik sekarang atau nanti. Kemudian, ia dicaci orang banyak karenan kekerasan hati dan wataknya.
(#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ  
“dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Bertakwalah kalian kepada Allah dalam hal-hal yang dilarang, di antaranya ialah riba, dan janganlah hati kalian keras berlaku kasar terhadap hamba-hamba-Nya yang membutuhkan dan sengsara, sehingga kalian membebankan utang yang tak kuat mereka tanggung, dan kalian memeras hajat serta kebutuhan mereka. Mereka ditenggelamkan oleh riba, sehingga rumah mereka ludes, dan akhirnya menjadi orang tidak mempunyai apa-apa lagi.
Mudah-mudahan, bila kalian mau berlaku baik terhadap mereka, hal itu akan menjadi penyebab kebahagian kalian di dunia. Sebab, kasih saying dan pertolongan yang baik itu akan menumbuhkan kecintaan dalam hati orang yang ditolong, sedang kecintaan itu adalah dasar dari kebahagian di dunia dan akhirat.
C.   Q. S. Al- Baqarah ayat 275-278
šúïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ (#4qt/Ìh9$# Ÿw tbqãBqà)tƒ žwÎ) $yJx. ãPqà)tƒ Ï%©!$# çmäܬ6ytFtƒ ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur yŠ$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkŽÏù šcrà$Î#»yz ÇËÐÎÈ   ß,ysôJtƒ ª!$# (#4qt/Ìh9$# Î/öãƒur ÏM»s%y¢Á9$# 3 ª!$#ur Ÿw =Åsム¨@ä. A$¤ÿx. ?LìÏOr& ÇËÐÏÈ   ¨bÎ) šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# (#âqs?#uäur no4qŸ2¨9$# óOßgs9 öNèdãô_r& yZÏã öNÎgÎn/u Ÿwur ì$öqyz öNÎgøŠn=tæ Ÿwur öNèd šcqçRtóstƒ ÇËÐÐÈ   $ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsŒur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ  

Artinya:
275. orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
276. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
277. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Penjelasan
šúïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ (#4qt/Ìh9$# Ÿw tbqãBqà)tƒ žwÎ) $yJx. ãPqà)tƒ Ï%©!$# çmäܬ6ytFtƒ ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.”
Keadaan orang-orang yang memakan riba di dunia ini, seperti orang yang sengaja melakukan perbuatan karena mereka gila disebabkan mereka dimabukkan oleh kecintaan harta. Dan, setelah harta mampu memperbudak pikirannya, maka jiwanya menjadi ganas, ingin sekali mengumpulkan harta sebanyak mungkin, dan harta menjadi tujuan pokok kehidupannya. Mereka menganggap tidak perlu susah-susah dengan menjalankan riba, dan meninggalkan usaha lainnya.[6]
Pembaca tentu akan melihat gerak dan perbuatan mereka, yakni orang yang suka memperjualbelikan bursa dan keracunan judi. Gerakan dan upaya mereka tampak semakin serius. Dari celah-celah sikap dan perbuatan mereka yang lincah itu dapat disaksikan gerakan yang tidak teratur. Dan orang Arab mengistilahkan orang yang suka berbuat tidak teratur (ngawur) itu sebagai gila.
Imam Thabrani meriwayatkan sebuah hadis dari ‘Auf bin Malik secara marfu’ yang artinya: “hati-hatilah kamu terhadap dosa-dosa yang tidak bisa diampuni: khianat terhadap bagian orang lain, barang siapa yang berkhianat mengambil sesuatu, maka kelak di hari kiamat akan didatangkan; dan riba, barang siapa yang memakan riba, esok hari kiamat ia akan dibangunkan dalam keadaan gila, membabi buta.”
y7Ï9ºsŒ öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3
“Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,”
Jika mereka memakan riba, maka riba akan dianggap sebagai yang dihalalkan, sama seperti jual beli. Dalam keyakinan si pemakan, hal tersebut sama bolehnya dengan seseorang menjual barang dagangan yang harganya sepuluh dirham, misalnya dengan bayaran kontan, atau duapuluh dirham dengan kredit. Karena anggapan membolehkan tadi, maka dalam keyakinan mereka diperboleh pula memberikan sepuluh dirham terhadap orang yang membutuhkannya, dengan syarat ia akan mengembalikannya mejadi dua puluh dirham setahun. Sebab dibolehkannya ini menurut keyakinannya adalah sama, yakni perbedaan masa waktu. [7]Demikian alasan mereka, menurut apa yang mereka khayalkan. Padahal, analogi mereka ini sama sekali tidak benar. karenanya, Allah berfirman:
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”  Dalam hal jual beli, ada hal-hal yang menyebabkan dihalakannya jual beli, dan dalam masalah riba, ada factor-faktor yang menyebabkan haramnya riba. Penyebabnya dihalalkannya jual beli, karena selama pihak pembeli bisa memanfaatkan apa yang dibeli dalam artian dalam hikiki. Siapa saja yang membeli gandum, misalnya, maka sekali-kali ia tidak membeli kecuali untuk dimakan, disemaikan bijinya, atau untuk dijual lagi (sebagai perdagangan). Di samping itu, harga yang ditetapkan berimbang dengan barang yang dijual secara rela antara penjual dan pembeli, dan dengan pilihan antara keduanya.
š`yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan).”
Siapa yang telah mendengar berita pengharaman riba, maka wajib ia meninggalkannya dengan segera, tidak diulur-ulur, di samping tidak bersikap ragu dalam menentukan sikap di dalam rangka mengikuti perintah Allah. Di samping itu, bunga yang selama ini (sebelum datangnya larangan) diambil, maka terserah padanya, tetapi diisyaratkan tidak boleh mengulangi perbuatannya lagi untuk mendatang, setelah adanya larangan ini.[8]
ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# (
“Dan urusannya (terserah) kepada Allah.” Allah akan menghukumi masalah tersebut dengan keadilan-Nya. Juga merupakan suatu keadilan apabila Allah tidak menghukum para pemakan riba sebelum adanya larangan tersebut, atau belum sampainya nasihat Allah padanya. Dalam ayat ini terkandung isyarat yang menunjukkan bahwa dibolehkannya hal-hal yang terlalu dari hasil riba, adalah lantara darurat, dan mengambil bunga yang sudah dimakan sebelum adanya larangan ini, adalah sebagai tekad yang mulia.
ïÆtBur yŠ$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkŽÏù šcrà$Î#»yz ÇËÐÎÈ  
“Orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” Siapa saja yang kembali seperti sedia kala, yakni memakan riba setelah adanya pengharaman, maka orang yang melakukan itu termasuk orang yang tidak mau mendengar nasihat Allah. Padahal, Allah tidak sekali-kali melarang mereka kecuali lantaran hal itu sangat membahayakan diri mereka. Dan mereka (yang berlaku memakan riba) adalah penghuni neraka yang tetap di dalamnya. Dan kalimat seperti ini dimaksudkan untuk memberatkan sangsi terhadap para pelanggar, sama seperti yang tersebut di dalam ayat-ayat lainnya.[9]
Sebagian ulama berpendapat bahwa terlalu mencintai harta kekayaan atau bergelimang dengan kelezatannya merupakan sebagian dari dosa besar. Hati yang sudah penuh dengan kecintaan terhadap kenikmatan duniawi tidak bisa dipadukan dengan keimanan yang benar, yang tabiatnya adalah memenuhi perasaan hati kita dengan rasa takut dan khawatir terhadap siksaan Allah, atau tidak berani melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah. Orang yang melakukan kejelekan dengan cara seperti ini, termasuk orang kafir yang menghalalkan segala cara, meski ia mengingkari hal itu dengan lisannya. Karenanya, orang seperti ini akan menjadi penghuni neraka yang kekal.
ß,ysôJtƒ ª!$# (#4qt/Ìh9$# Î/öãƒur ÏM»s%y¢Á9$# 3
“Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah.” Allah akan melebur barakah riba, dan merusak harta yang digunakan untuk kepentingan tersebut. Setelah itu, tidak ada seorang pun yang memanfaatkannya. Di balik itu, Allah melipat gandakan barakah sedekah dan menambah harta yang dikeluarkan untuknya.
Kalangan ulama mengatakan, “ yang dimaksud dengan lebur di sini ialah perlakuan yang dijumpai oleh pelaku riba dari orang-orang yang membutuhkannya, yaitu permusuhan dari pihak mereka dan sangat dibenci mereka. Kadang, permusuhan dan kebencian ini bisa mengakibatkan sebagai kerusakan dan kemadharatan, seperti menjadi tindak kekerasan terhadap harta, jiwa, dan hasil bumi yang menjadi milik pelaku riba.”
Kesimpulannya, bahwa riba itu meleburkan harapan pelakunya yang mendambakan bertambahnya herta benda. Dengan demikian, ia berharap bisa menikmati kehidupan ini secara terhomat dan sejahtera. Tetapi, riba justru membalikkan lamunannya, dan kenyataan hidup menjadi tampak murung dan susah. Perasaan cinta harta semakin menjadi, orang-orang yang membenci semakin banyak, dan ia pun tidak bisa berhasil mencapai hasil dari kelakuannya dalam kehidupan ini. Sunnatullah telah menetapkan bahwa orang bersedekah itu manfaat hartanya akan lebih besar dibanding harta yang tertinggal.[10]
ª!$#ur Ÿw =Åsム¨@ä. A$¤ÿx. ?LìÏOr& ÇËÐÏÈ  
“Dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”
Yang dimaksud dengan Al-Kuffar disini ialah orang yang berkepanjangan dalam mengingkari nikmat-nikmat Allah, berupa harta yang dilimpahkan padanya, karena ia tidak menginfakkan di jalan Allah. Ia juga tidak menyantuni harta benda kepada hamba-hamba Allah yang membutuhkannya.
Al-Atsim ialah orang yang bergelimang dalam perbuatan-perbuatan dosa. Orang ini terkadang menggunakan harta bendanya sebagai cara untuk meraih harta yang ada di tangan orang lain, yang karena itu, ia memeras kaum miskin dan mengambil sumber penghidupan dan menghisap darah mereka.
¨bÎ) šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# (#âqs?#uäur no4qŸ2¨9$# óOßgs9 öNèdãô_r& yZÏã öNÎgÎn/u Ÿwur ì$öqyz öNÎgøŠn=tæ Ÿwur öNèd šcqçRtóstƒ ÇËÐÐÈ  
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Bahwa orang-orang yang percaya dengan apa yang didatangkan oleh Allah, berupa perintah dan larangan, mau melakukan perbuatan yang memperbaiki diri mereka, seperti memberikan santunan kepada fakir miskin, serta belas kasihan terhadap orang-orang yang sengsara dan menunda penagihan terhadap orang yang lagi sulit, hal ini merupakan perwujudan dari iman yang hakiki dengan diiringi pengalamannya, mereka mendirikan shalat, yang hal ini bisa mengingatkan seseorang kepada Tuhannya, sehingga imannya makin bertambah, dan menanamkan perasaan cinta kepada Tuhan serta menyakini bahwa Allah swt. selalu meneliti sepak terjangnya, dengan demikian maka akan mudah baginya melakukan taat kepada Allah dalam segala hal. Mereka pun menunaikan zakat, yang dengan ini bisa membersihkan diri mereka dari berbagai kotoran bakhil dan membiasakan jiwanya melakukan hal-hal yang baik. Dalam hal ini, Allah mengkhususkan penyebutan dua jenis amal kebaikan, sedang amal kebaikan itu adalah banyak dan luas pengertiannya. Hal ini karena kedua kebajikan itu merupakan rukun-rukun ibadah yang paling agung yang berkaitan dengan jasmani dan rohani. Orang menjalankan di atas, mereka mendapatkan pahala yang telah disimpan Allah untuk diberikan kepada mereka, kelak di hari kiamat. Pada hari itu, mereka sedikit pun tidak merasa sedih atau menyesal terhadap apa yang dilakukannya, dan tidak merasa takut sedikit pun dalam hal-hal yang baka terjadi.[11]
Dalam ayat ini terkandung sindiran terhadap orang-orang yang memakan riba. Artinya jika mereka itu benar-benar termasuk orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka tentu mereka akan berhenti dari memakan riba.
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsŒur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ  
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”
            Hai orang-orang yang beriman, yang percaya terhadap perintah dan larangan Allah, peliharalah dirimu dari siksa Allah, dengan mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Di samping itu, tinggalkanlah apa yang tersisa dari perbuatan riba, apabila kalian benar-benar mengaku beriman kepada apa (ajara) agama, yakni berupa perintah dan larangan.
            Dalam bahasa Arab sering dikatakan, “Bila kalian benar-benar konsekuen terhadap perkataanmu, maka lakukanlah hal tersebut.” Kemudian, mereka menuturkan hal-hal tersebut, yang hal-hal itu merupakan perwujudan dari apa yang dikatakannya.[12]
Dalam ayat ini terkandung isyarat yang menjelaskan bahwa siapa saja yang tidak meninggalkan riba setelah adanya larangan. Allah dan ancaman-Nya, maka orang tersebut dikatakan tidak beriman, dan ia akan tetap di neraka. Meskipun ia beriman terhadap apa yang dibawa oleh agama, tetapi ia mengingkari sebagian ajarannya, bahkan tidak mengamalkannya, maka orang seperti ini dinyatakan sebagai tidak beriman, kendati melalui mulutnya menyatakan diri sebagai orang beriman. Sebab, keimanan dalam bentuk seperti ini, tidak dianggap sebagai iman, sebagaimana telah disabdakan oleh rasulullah saw. yang artinya: “Seseorang Mu’min yang sedang melakukan zina, maka tidaklah beriman, dan ketika minum khamr, ia tidak beriman pula.”






BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Riba adalah pengambilan tambahan baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam. Barang siapa yang memberikan suatu pemberian kepada orang lain dengan tujuan supaya orang itu akan membalasnya dengan hadiah yang lebih banyak kepadanya, maka apa yang telah dilakukannya itu tidak mendapat pahala di sisi Allah.
            Janganlah kalian memakan riba yang berlipat ganda hanya dengan menangguhkan pembayaran modal, sehingga modal menjadi berlipat, seperti yang biasa kalian lakukan pada zaman Jahiliyah. Kini, Islam melarang kalian berbuat demikian, karena hal itu merupakan cara keras dan pemerasan terhadap orang yang sedang membutuhkan pertolongan.
Secara global, ada dua macam riba:
1.      Riba Nasi’ah, yaitu jenis riba yang terkenal di masa Jahiliyah dan biasa dilakukan oleh mereka. Riba ini menangguhkan masa pembayaran dengan tambahan keuntungan;
2.      Riba Fadhal, seperti misalnya seseorang yang menjual sebuah perhiasan emas berbentuk gelang dengan harga yang melebihi timbangannya. Dan, sebagai barternya uang dinar (uang emas).
Riba pada hakikatnya merusakkan iman kaum Mu’minin. Dan sekalipun pada lahiriahnya harta orang yang melakukan riba bertambah, namun pada hakikatnya berkurang. Sebab, kaum kafir miskin menyaksikannya akan mengambil harta mereka melalui cara riba ini, tetapi mengutuk dan mendoakan jelek padanya.
Keadaan orang-orang yang memakan riba di dunia ini, seperti orang yang sengaja melakukan perbuatan karena mereka gila disebabkan mereka dimabukkan oleh kecintaan harta. Dan, setelah harta mampu memperbudak pikirannya, maka jiwanya menjadi ganas, ingin sekali mengumpulkan harta sebanyak mungkin, dan harta menjadi tujuan pokok kehidupannya. Mereka menganggap tidak perlu susah-susah dengan menjalankan riba, dan meninggalkan usaha lainnya.
Bahwa riba itu meleburkan harapan pelakunya yang mendambakan bertambahnya herta benda. Dengan demikian, ia berharap bisa menikmati kehidupan ini secara terhomat dan sejahtera. Tetapi, riba justru membalikkan lamunannya, dan kenyataan hidup menjadi tampak murung dan susah. Perasaan cinta harta semakin menjadi, orang-orang yang membenci semakin banyak, dan ia pun tidak bisa berhasil mencapai hasil dari kelakuannya dalam kehidupan ini. Sunnatullah telah menetapkan bahwa orang bersedekah itu manfaat hartanya akan lebih besar dibanding harta yang tertinggal.
B.     Saran
Sebagai umat muslim sebaiknya kita tidak melakukan riba karena Riba pada hakikatnya merusakkan iman kaum Mu’minin. Dan sekalipun pada lahiriahnya harta orang yang melakukan riba bertambah, namun pada hakikatnya berkurang. Sebab, kaum kafir miskin menyaksikannya akan mengambil harta mereka melalui cara riba ini, tetapi mengutuk dan mendoakan jelek padanya. Demikianlah dari makalah ini yang pemakalah sampaikan, makalah ini masih jauh dikatakan dari sempurna baik dalam segi penulisan maupun analisanya. Oleh karena itu,  penulis mengharapkan  saran dan kritik yang membangun untuk dijadikan sebagai perbaikan dari isi makalah ini. Kiranya dapat bermanfaat bagi kita semua yang membacanya.



DAFTAR PUSTAKA

Musthafa al- Maraghi, Ahmad. 1992. terjemah Tafsir Al-Maraghi 3.  Semarang : CV Toha Putra Semarang.
Musthafa al- Maraghi, Ahmad. 1992. terjemah Tafsir Al-Maraghi 4.  Semarang : CV Toha Putra Semarang.
Musthafa al- Maraghi, Ahmad. 1992. terjemah Tafsir Al-Maraghi 21.  Semarang : CV Toha Putra Semarang.




[1] Ahmad Musthafa al- Maraghi, 1992, terjemah Tafsir Al-Maraghi 21,  Semarang : CV Toha Putra Semarang, hal. 97
[2] Ibid. hal. 98
[3] Ahmad Musthafa al- Maraghi, 1992, terjemah Tafsir Al-Maraghi 4,  Semarang : CV Toha Putra Semarang, hal. 108
[4]  Ibid. hal. 109
[5] Ibid. hal. 111-112
[6] Ahmad Musthafa al- Maraghi, 1992, terjemah Tafsir Al-Maraghi 3,  Semarang : CV Toha Putra Semarang, hal. 108
[7] Ibid. hal. 110
[8] Ibid. hal. 110
[9] Ibid. hal. 11
[10] Ibid. hal. 113
[11] Ibid. hal. 114
[12] Ibid. hal. 115.